Friday, November 9, 2012

Tepi Penantian


Dia menghela napas panjang. Menatap cahaya lampu malam dari atas jembatan kota kelahiran kami. Untuk yang kesekian kalinya malam ini. Kami diam dalam sunyi. Aku menunggu. Tidak peduli berapa lama pun aku akan menunggu. Tekadku sudah bulat sejak petang tadi, setelah semua keberanian telah aku kumpulkan untuk bertemu dengannya. Kini, saling bertatapan di bawah sinar rembulan yang semakin memudar, tekad itu tak ikut larut. Aku benar- benar terdiam dan menunggu. Menunggu kata- kata itu keluar sendiri darinya. Menunggu jawaban apa pun darinya. Tidak peduli berapa lama pun waktu yang Ia butuhkan untuk mengatakannya. Tidak peduli berapa banyak lampu di hadapan kami telah padam. Aku akan menunggu.

Aku akan menunggu.
Karena jauh.. jauh sekali aku telah memutuskan hal ini. 
Hal tentang aku dan kamu. 

Lalu kini, di dalam diamnya aku menunggu, diam- diam aku menarik napas tertahan. Detik ini, menit ataukah mungkin hitungan jam, aku berada di antara dua pilihan. Usai sudah pengaguman ini ataukah berujung pada pengaguman tiada akhir.

Separuh hatiku ingin pergi dan segera berlari tanpa menunggu jawabmu. Separuh yang lain menang, dikuatkan oleh tekad. Aku memilih untuk menetap di sampingmu, bersama menatap ke arah pantulan rembulan pada riak di bawah jembatan.





"Kau kedinginan?" Dia bertanya, tatapannya lembut. Sekilas aku bereaksi atas pertanyaannnya itu, mendongak menatapnya, lalu kembali beralih pada riak air. Menggeleng teramat hati- hati. 


Sungguh, setelah sekian lama dalam keheningan, kalimat pertama yang Ia ucapkan masih untuk orang selain dirinya. Perhatian yang amat besar itu saat ini terasa berbeda. Kebaikannya itu, teramat takut aku menodainya dengan luka. Kembali sunyi. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tapi kali ini dalam pikiranku aku sibuk mencari berbagai alasan atas setiap kebaikan yang Ia lakukan. 

Lama aku menunggu saat ini. Sebab selama ini aku lebih banyak menahan diri. Berusaha mengimbangi langkahmu, lalu perlahan maju di depan. Hingga akhirnya nanti, kau bisa mengandalkanku untuk menuntunmu. Sepenuhnya. Jadi, nanti kau tak akan pernah mau berlari tanpa menggenggam lenganku. Takjub sebenarnya. Tidak pernah terpikir sebelumnya, aku dapat berpikiran sangat terencana seperti ini. Tidak heran memang, kalau ternyata ini semua kau lah sumbernya. 

Tapi, kau tahu? aku tak pernah mau meletakkan pengaguman ini di atas diriku. Mengendalikanku sepenuhnya seperti bangku kosong di hadapan setir kendali. Oleh karena itu, hari ini aku tidak takut hancur atas kemungkinan terburuk. Di atas pengaguman ini terdapat penghambaan yang memang sengaja dan seharusnya kuletakkan pada posisi pertama. Di atas lebih namamu. Dan atas penghambaan itu lah pengaguman ini ada. 

Aku meneguhkan hati, semakin mantap. Lalu memutuskan merobek kesunyian ini, yang berkali- kali menginterupsi. Aku membuka suara. 

"Jawabanmu.. ?" Lamat- lamat aku ucapkan kata itu. Khawatir Ia lupa alasan aku masih berdiri di sini. Menggenggam dua buah cincin yang entah akan melingkar di jari kami berdua atau teronggok bisu di sudut kamar. 

Semua tergantung jawabnya.
 ------------------------------------------------------------------------------- 
Teruntuk penantian yang terlampau lama. 
Namun indah pada saatnya. 
Bersabarlah duhai hati.. 
 -AO-

No comments:

Post a Comment

Don't forget to comment^^
Feel free to submit your comment, just type it here ^^