Wednesday, February 6, 2013
Pemuaian dalam Kehidupan Kita
Sunday, February 3, 2013
Dari Si Buta, Tuli dan Bisu
Aku bertanya keberadaan Tuhanku
Kata mereka Dia berada paling dekat denganku
Oh, apa aku begitu buta untuk sesuatu yang sangat dekat?
Aku sampai pada satu kesimpulan; inilah buta yang sesungguhnya
Mereka bertanya padaku, katanya ada yang butuh pertolongan
Aku hanya menatap heran, kata mereka suara jeritan, rintihan
Api menyebar dari rumah belakang, seseorang berteriak kebakaran
Detik sebelumnya, Aku tidak mendengar suara sekeras itu
Tapi kata mereka, suara itu sudah keras sedari tadi
Aku sampai pada satu kesimpulan: Ah, inilah tuli sesungguhnya
Beribu orang berteriak, beribu orang berseru, beberapa yang pemalu hanya berbisik
Mereka yang berjiwa pujangga melantunkan beribu diksi,
Beberapa yang punya figur berorasi
Sedang aku masih dalam gumaman yang sama; tak jelas
Oh, apakah ini bisu yang sesungguhnya?
Aku ingin menangis
Setelah sebelumnya aku menyadari
betapa buta dan tuli aku sebenarnya
Suara lembut mengalun dalam gendang telingaku
Ia mengajakku untuk mendengar semua itu
Dengarlah..
Teriakan cacian, seruan kebencian, bisikan kedengkian,
lantunan makian, orasi kecemburuan.
Aku mendongakkan kepala, mataku tidak lagi berkaca- kaca
Sadar untuk sesuatu yang tidak perlu jadi kutangisi
Sekarang saatnya bergegas membenah diri
16052011
07:37
© AO
Selengkapnya...
Thursday, January 10, 2013
Menentukan Satuan Internasional dari Besaran Turunan
Satuan
Luas = panjang x lebar
=
besaran panjang x besaran panjang
= m x m
= m²
|
2. Volume
Satuan Volume =
panjang x lebar x tinggi
= besaran panjang x besaran panjang x besaran panjang
= m x m xm
= m³
|
Satuan
Kecepatan = jarak/ waktu
= besaran
panjang / besaran waktu
= m/s
|
4.
Percepatan
Besaran Pokok dan Besaran Turunan
Monday, January 7, 2013
Kisi- Kisi UN SMA
Yuk sama- sama belajar :)
Friday, November 9, 2012
Praktikum Reaksi Redoks
Tepi Penantian
Dia menghela napas panjang. Menatap cahaya lampu malam dari atas jembatan kota kelahiran kami. Untuk yang kesekian kalinya malam ini. Kami diam dalam sunyi. Aku menunggu. Tidak peduli berapa lama pun aku akan menunggu. Tekadku sudah bulat sejak petang tadi, setelah semua keberanian telah aku kumpulkan untuk bertemu dengannya. Kini, saling bertatapan di bawah sinar rembulan yang semakin memudar, tekad itu tak ikut larut. Aku benar- benar terdiam dan menunggu. Menunggu kata- kata itu keluar sendiri darinya. Menunggu jawaban apa pun darinya. Tidak peduli berapa lama pun waktu yang Ia butuhkan untuk mengatakannya. Tidak peduli berapa banyak lampu di hadapan kami telah padam. Aku akan menunggu.
Lalu kini, di dalam diamnya aku menunggu, diam- diam aku menarik napas tertahan. Detik ini, menit ataukah mungkin hitungan jam, aku berada di antara dua pilihan. Usai sudah pengaguman ini ataukah berujung pada pengaguman tiada akhir.
Separuh hatiku ingin pergi dan segera berlari tanpa menunggu jawabmu. Separuh yang lain menang, dikuatkan oleh tekad. Aku memilih untuk menetap di sampingmu, bersama menatap ke arah pantulan rembulan pada riak di bawah jembatan.
Lama aku menunggu saat ini. Sebab selama ini aku lebih banyak menahan diri. Berusaha mengimbangi langkahmu, lalu perlahan maju di depan. Hingga akhirnya nanti, kau bisa mengandalkanku untuk menuntunmu. Sepenuhnya. Jadi, nanti kau tak akan pernah mau berlari tanpa menggenggam lenganku. Takjub sebenarnya. Tidak pernah terpikir sebelumnya, aku dapat berpikiran sangat terencana seperti ini. Tidak heran memang, kalau ternyata ini semua kau lah sumbernya.
Tapi, kau tahu? aku tak pernah mau meletakkan pengaguman ini di atas diriku. Mengendalikanku sepenuhnya seperti bangku kosong di hadapan setir kendali. Oleh karena itu, hari ini aku tidak takut hancur atas kemungkinan terburuk. Di atas pengaguman ini terdapat penghambaan yang memang sengaja dan seharusnya kuletakkan pada posisi pertama. Di atas lebih namamu. Dan atas penghambaan itu lah pengaguman ini ada.
Aku meneguhkan hati, semakin mantap. Lalu memutuskan merobek kesunyian ini, yang berkali- kali menginterupsi. Aku membuka suara.
"Jawabanmu.. ?" Lamat- lamat aku ucapkan kata itu. Khawatir Ia lupa alasan aku masih berdiri di sini. Menggenggam dua buah cincin yang entah akan melingkar di jari kami berdua atau teronggok bisu di sudut kamar.
Semua tergantung jawabnya.